Beranda | Artikel
Ahli Fiqih Yang Mendekati Pintu Penguasa
Selasa, 9 November 2021

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Ahli Fiqih Yang Mendekati Pintu Penguasa adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 3 Rabiul Akhir 1443 H / 8 November 2021 M.

Kajian Islam Tentang Ahli Fiqih Yang Mendekati Pintu Penguasa

Mendekati pintu penguasa adalah salah satu talbis iblis terhadap para Fuqaha. Mereka mengira bahwa itu adalah salah satu kesuksesan dan kemajuan. Dan banyak di antara mereka ketika mendekati penguasa terfitnah dengan harta dan kedudukan yang ditawarkan, sehingga hati mereka terfitnah dengan dunia. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengatakan bahwa barangsiapa yang mendatangi pintu penguasa, maka dia akan terkena fitnah dunia.

Ada penyakit yang mengancam manusia berkaitan dengan dunia, yaitu penyakit wahn (cinta kepada dunia). Siapa saja ada potensi untuk terkena penyakit tersebut tanpa pandang bulu. Maka dari itu para ulama Salaf dahulu menjaga kedekatan mereka dari para penguasa tersebut, mereka tidak mendatangi pintu penguasa.

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Aku tidak khawatir apabila penguasa menghinakan diriku. Justru yang aku khawatirkan adalah pada waktu mereka memuliakanku sehingga hatiku menjadi lunak terhadap mereka.”

Maka para ulama Salaf dahulu menjaga kedekatan mereka dengan penguasa agar kewajiban-kewajiban yang mereka emban seperti amar ma’ruf nahi munkar dan menyampaikan nasihat bisa dilakukan dengan baik tanpa ada intervensi dari para penguasa tersebut.

Para ulama Salaf menjauhkan diri dari para penguasa karena kezaliman yang mungkin nampak jelas yang dilakukan oleh para penguasa. Para penguasa itu akan meminta bantuan kepada para ulama, mereka membutuhkan fatwa/pendapat dalam menjalankan roda kekuasaan mereka. Lalu akan muncul orang-orang yang kecenderungannya terhadap dunia, maka mereka pun mungkin akan melayani apa yang diinginkan oleh para penguasa itu. Kemudian mereka menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah, mengorbankan akhirat demi mendapatkan dunia. Ini yang dikawatirkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bagi siapa saja yang mendekati pintu penguasa.

Apabila hati itu sudah terkena penyakit wahn (cinta kepada dunia), bahkan mungkin berlebihan, maka mereka akan gelap mata menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta dengan kedudukan yang mereka miliki sebagai pemuka agama atau dipandang sebagai ahli ilmu atau status-status agama lainnya yang membuat manusia percaya kepadanya.

Memakan harta wakaf

Kadangkala di antara mereka ada yang berani memakan harta wakaf yang diwakafkan oleh kaum muslimin untuk madrasah-madrasah yang dibangun untuk para penuntut ilmu, dakwah dan pendidikan. Mreka memakan harta tersebut dan merasa punya bagian disitu. Bahkan banyak di antara mereka yang mengklaim harta wakaf itu sebagai harta pribadinya. Kadangkala mereka menyamarkan status harta wakaf itu kemudian akibatnya generasi-generasi yang datang sesudahnya mengklaim harta itu sebagai harta ayah atau kakeknya, padahal itu adalah harta wakaf/umat. Harta yang tidak hak baginya ini diwariskannya kepada cucunya.

Ini adalah salah satu hal yang sangat berbahaya. Penyelesaian hal-hal yang berkaitan dengan harta itu tidak mudah di akhirat. Tidak dengan mudah kita bisa melepaskan dosa-dosa kedzaliman berkaitan dengan harta. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan:

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ…

“Janganlah kalian memakan harta sebagian kalian atas sebahagian yang lainnya secara batil.” (QS. Al-Baqarah[2]: 188)

Ini yang perlu kita berhati-hati di dalam bab harta. Karena tidak pandang bulu apakah dia awam atau bahkan berilmu, godaan/fitnah harta bisa menimpa siapa saja. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ…

“Dan ketahuilah, sesungguhnya harta dan anak-anakmu itu adalah fitnah…” (QS. Al-Anfal[8]: 28)

Kemilau dunia membuat manusia kadang-kadang gelap mata. Dan tabiat manusia adalah menyukai harta. Allah mengatakan:

وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا

“Dan kamu mencintai harta itu dengan kecintaan yang luar biasa.” (QS. Al-Fajr[89]: 20)

Terkadang pelakunya membenarkan perbuatannya atas nama dia telah bekerja untuk umat, itu yang dibisikkan setan ke telinga mereka. Dia merasa melakukan itu untuk umat. Dan dengan itu mereka mengklaim bahwa harta-harta umat ini juga menjadi bagian mereka.

Nabi pernah menegur orang-orang yang mengambil bagian dari harta zakat yang dikumpulkan. Nabi berkata kepada mereka: “Coba dia duduk di rumah orang tuanya, apakah harta itu datang kepadanya tanpa membawa embel-embel umat?” Orang berbondong-bondong dan berlomba-lomba mengeluarkan harta karena itu untuk wakaf.

Kalaulah diambil, mungkin tidak ada yang menuntutnya ketika di dunia. Tapi setiap harta akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau ternyata harta itu tidak berhak ada di dalam kuasa kita, maka Allah akan meminta pertanggungjawabannya.

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apabila diserahkan kepada kita pengelolaan harta umatnya (baik itu wakaf, sedekah, infak dan yang lainnya), maka berhati-hatilah karena godaan harta itu luar biasa berat. Mungkin awalnya tidak ada niat, tapi apabila terus dibisiki oleh setan, lama-lama mungkin jebol juga dinding keimanan itu. Akhirnya terjadilah penyelewengan-penyelewengan dana umat.

Berapa banyak harta-harta wakaf yang kemudian diambil kembali oleh ahli waris sebagai miliknya. Padahal tidak boleh kita menariknya kembali. Itu seperti anjing yang memuntahkan makanannya kemudian dia memakannya kembali. Itu perumpamaan yang pantas untuk orang yang mengambil kembali hadiah yang sudah diberikan.

Bagaimana penjelasan talbis iblis terhadap ahli fiqih selanjutnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/51015-ahli-fiqih-yang-mendekati-pintu-penguasa/